THE ULTIMATE QUESTION OF BUSINESS MANAGEMENT


Pernah mendengar ungkapan “pelanggan adalah raja”? Well, ungkapan ini tidak sepenuhnya tepat meskipun mengecewakan pelanggan juga bukan ide yang bagus. Ungkapan “pelanggan adalah raja” melahirkan pandangan customer-centric dimana hampir semua aktivitas dalam setiap organisasi bisnis dievaluasi berdasarkan besaran nilai yang diciptakan bagi pelanggan. Mungkin juga tidak ada yang salah dengan hal ini tapi sayangnya banyak organisasi bisnis khususnya small startup yang mengikuti keinginan konsumen dengan membabi-buta. Seruduk sana-sini, yang penting pelanggan hepi.

Sebelum kita melanjutkan bahasan tentang “seruduk sana-sini yang penting pelanggan hepi”, mari kita berkenalan dengan sebuah pertidaksamaan yang menjadi dasar dari seluruh aktivitas bisnis. Pertidaksamaan tersebut bentuknya adalah sebagai berikut:

C < P < V

C          =    Cost atau biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam penciptaan nilai bagi pelanggan

P          =    Price atau harga yang dibayarkan oleh pelanggan untuk mengakuisisi nilai yang diciptakan perusahaan

V         =    Value atau nilai yang diciptakan oleh perusahaan sebagaimana dipersepsikan oleh pelanggan

Berdasarkan pertidaksamaan di atas, harga yang dibayarkan oleh pelanggan untuk mengakuisisi sebuah nilai (P) harus lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan oleh orgnasisas bisnis – atau supaya singkat saya sebut “perusahaan” – untuk menciptakan nilai tersebut (C). Selain itu, nilai yang diciptakan oleh perusahaan sebagaimana yang dipersepsikan oleh pelanggan (V) harus lebih besar daripada harga yang dibayarkan oleh pelanggan untuk mengakuisisi nilai tersebut (P). Nah, di sinilah dilema telur dan ayam dimulai.

Lho di mana dilemanya? Mari kita uraikan satu per satu. Setiap pelaku usaha pasti sepakat bahwa tujuan utama sebuah entitas bisnis adalah mensejahterakan pemiliknya bukan? Dan kesejahteraan pemilik bergantung pada besaran profit atau keuntungan yang dihasilkan oleh aktivitas bisnis karena dari profit itulah disisihkan sebagiannya untuk dikembalikan pada pemilik dalam bentuk dividen atau bentuk pengembalian lain. Di sisi lain, profit merupakan selisih antara harga dengan biaya atau P minus C. Dengan mengacu pada pertidaksamaan, manajemen dapat memperbesar profit dengan salah satu dari dua cara di bawah ini:

  1. Meminimalisir biaya atau,
  2. Meningkatkan harga.

Mengapa harus salah satu? Mengapa tidak bisa keduanya? Yah, setidaknya menurut Michael Porter (1989) dan Treacy dan Wiersema (1995), sebuah organisasi bisnis tidak dapat mengimplementasikan dua opsi di atas sekaligus karena persyaratan (prerequisites) yang dibutuhkan untuk mengeksekusi kedua opsi di atas sangat berbeda baik dari sisi budaya organisasi, teknologi, proses bisnis, dan sebagainya. Sebagai contoh meminimalisir biaya dapat dilakukan dengan mencapai skala produksi yang besar, menciptakan keseragaman internal, mengurangi variasi output produksi, dsb. Sedangkan meningkatkan harga menuntut persyaratan yang berbeda misalnya dengan terlebih dahulu menciptakan produk yang inovatif atau menyesuaikan produk sesuai dengan keinginan pelanggan (customization). Mengejar kedua opsi di atas sekaligus akan menghasilkan mental BPJS (budget pas-pasan, jiwa sosialita). Membingungkan karena harus ngirit dan tampil kinclong pada saat yang bersamaan. Hal ini akan menghasilkan kegalauan akibat terjebak di tengah-tengah. Dalam bahasa yang lebih umum: stuck in the middle.

Apapun caranya, agar produk yang dijual dapat tetap laku terjual, harga yang ditetapkan tidak boleh (P) lebih besar daripada nilai yang diciptakan oleh perusahaan sebagaimana yang dipersepsikan konsumen (V). Bila harga ingin ditingkatkan secara signifikan, perusahaan harus mampu meningkatkan persepsi pelanggan atas nilai yang diciptakan oleh perusahaan. Hal ini juga bisa dilakukan dengan berbagai cara dari menambahkan fitur-fitur baru, menambah outlet, memperbaiki kualitas layanan, memberikan usia garansi lebih panjang, hingga mencari cara lebih baik dalam mengkomunikasikan nilai yang diciptakan tersebut. Apapun itu, hampir dapat dipastikan apapun yang dilakukan perusahaan untuk menciptakan nilai yang lebih besar melibatkan peningkatan biaya. Sekali lagi, hampir.

Jadi biarkan saya menyimpulkan penjelasan saya yang mungkin membingungkan di atas (red. penjelasan tapi kok ga jelas):

Kenaikan harga (∆P) harus diikuti oleh kenaikan nilai (∆V) dan kenaikan nilai hampir selalu diikuti oleh kenaikan biaya (∆C)

Setidaknya itu adalah keyakinan umum dari hampir setiap konsep manajemen. Wah, lagi-lagi saya mengatakan “hampir”. Benar-benar dilema telur dan ayam bukan? Saya percaya bahwa pertidaksamaan inilah yang mendasari lahirnya semua konsep manajemen. Pada dasarnya, semua cabang ilmu manajemen – manajemen pemasaran, manajemen keuangan, manajemen sumber daya manusia, kepemimpinan bisnis, manajemen operasi, manajemen inovasi, manajemen strategi, dan masih banyak yang lain – berupaya memecahkan pertidaksamaan ini. Setiap konsep manajemen berusaha memecahkan pertidaksamaan ini dari sisi yang berbeda-beda, dari sisi biaya, dari sisi nilai yang diciptakan bagi pelanggan, atau bahkan keduanya.

Nah kembali ke pembahasan tentang “seruduk sana-sini, yang penting pelanggan hepi”. Seperti manusia lainnya di dunia, pelanggan adalah makhluk yang tidak mau merugi. Coba tanyakan pada para pelanggan itu, apa jawaban mereka bila kita bertanya apa yang dapat perusahaan lakukan bagi mereka. Mereka dengan wajah tidak berdosa, dengan tingkat keyakinan 99,99%, akan menjawab: harga yang lebih murah, layanan yang lebih baik, produk yang lebih tahan lama, fitur yang lebih banyak, dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya. So greedy, aren’t they? Mengikuti keinginan pelanggan begitu saja akan sangat melelahkan dan yang pasti belum tentu menguntungkan.

Kombinasi kedua hal di atas – pertidaksamaan bisnis dan keserakahan pelanggan – menciptakan paradigma more for more. You have to give more in order to get more. Sounds familiar huh? Sayangnya mengikuti paradigma ini hanya akan membawa anda ke lingkaran setan yang tidak berujung. Profit bisnis anda tidak akan meningkat banyak. Yang jelas akan meningkat adalah stress. Hadeuh cape deh. Now, the real question is, what creativity has to offer to solve this everlasting problem? Since it’s already late at night, and I am getting sleepy. I will explain it latter in the morning. Please remember, I definitely didn’t say tomorrow morning. See ya! 😉

 


Leave a Reply