MY BIGGEST MISTAKE IN TEACHING CREATIVITY (PART 1)


Pendahuluan

Well, ini adalah tahun keempat saya mengajar Creative Thinking. Saya merasa beruntung dapat membawakan mata kuliah ini karena hal ini telah mengubah cara saya berpikir dan memandang sesuatu. Creativity is fun and I got addicted to it. It became my passion. Karena itu saya ingin membagikan passion ini pada semua orang karena sebagian orang masih percaya bahwa kreativitas hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Padahal itu tidak benar. Hal itu membuat saya sedikit terobsesi untuk menemukan struktur yang dapat memudahkan orang mempelajari dan mengimplementasikan kreativitas. Salah satu struktur yang akhirnya saya adopsi dalam kelas-kelas saya adalah creative problem solving atau CPS. CPS adalah serangkaian aktivitas yang menuntun penggunanya memecahkan masalah secara kreatif. It is full of techniques and methods that can stimulate creativity. This is where my confession begins karena ternyata semuanya tidak berjalan seperti harapan saya. Tapi sebelum itu, saya ingin menjelaskan sedikit tentang “struktur” pada anda.

As you all know, every university lecturers are scientist and as a scientist we love structure. Believe it or not, we can get a Ph.D for adding one or two elements on an existing structure. Secara sederhana, struktur mengatur tentang bagaimana satu hal berhubungan dengan hal yang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kita akan menemukan manifestasi struktur dalam bentuk model, metode, sistem, formula, rumus, resep, prinsip, atau hal lainnya. Berkat struktur, kita dapat menjelaskan tentang bagaimana sesuatu bekerja. Panitia TEDx bahkan memberi saya panduan tentang bagaimana berbicara dan membuat slides untuk TEDx. Itu adalah contoh dari sebuah struktur. Percaya atau tidak, tanpa struktur, sains akan sulit dikembangkan dan disebarluaskan. Science would not even exist.

Identifikasi Masalah

Bersandar pada keyakinan itu, saya mengembangkan berbagai bahan tentang CPS. Saya mengembangkan slide presentasi, merancang lembar kerja, menciptakan games, dan mengumpulkan video yang dapat mendukung pembelajaran tentang CPS. Saya mengakui bahwa dengan adanya struktur, pengembangan bahan ajar menjadi lebih mudah. Saya memiliki pedoman yang dapat saya ikuti setiap minggunya. Output pembelajaran dari satu pertemuan menjadi input bagi pertemuan selanjutnya.

Setelah membawakan materi creative thinking selama separuh semester, saya merasakan ada yang salah. Antusiasme mahasiswa saya dari waktu ke waktu semakin menurun. Sebagian mahasiswa enggan mengerjakan tugas mingguan mereka. Saat itu, saya betul-betul tidak memiliki penjelasan atas apa yang sedang terjadi. Saya selalu berpikir bahwa dengan adanya struktur, kreativitas seharusnya menjadi lebih mudah dipahami. I was so clueless dan pencarian saya tentang kebenaran pun dimulai.

Setelah belasan sesi diskusi dengan mahasiswa saya, puluhan feedback form, dan ratusan buah keripik kentang, saya mulai benar-benar melihat perbedaan kelas saya pada semester itu dengan kelas saya pada semester-semester lalu. Satu hal yang mengejutkan, ternyata mahasiswa saya sama sekali tidak paham dengan struktur yang saya berikan. Mereka merasa struktur yang saya berikan terlalu kompleks dan sulit dipahami. Mahasiswa saya bahkan merasa terintimidasi dengan struktur yang saya gunakan.

Pada saat itu saya menyadari bahwa saya telah menjadikan “pemahaman atas struktur” sebagai tujuan dari mata kuliah saya dan bukan “menjadi manusia kreatif”. Hal ini mengingatkan saya pada sebuah pengalaman saat saya masih duduk di sekolah dasar. Pada hari itu, guru matematika saya memberikan pop quiz pada kelas kami. Kami diminta berlomba satu sama lain untuk melihat siapa yang mampu menyelesaikan perhitungan paling cepat. Setelah beberapa menit mencorat-coret di atas kertas, saya mengacungkan tangan dan siap untuk menjawab. Saya ingat benar, saya adalah murid pertama di kelas yang menyelesaikan perhitungan saya. Guru saya meminta saya mendekat ke mejanya. Setelah beberapa detik melihat hasil corat-coret saya, Ia berkata, “Fajar, jawaban kamu salah”. Setelah mendengar itu, saya kembali ke meja saya dan berkali-kali mengecek logika perhitungan saya.

Beberapa menit kemudian, seorang teman saya mengacungkan tangannya. Guru saya kembali meminta teman saya itu mendekat ke mejanya. Setelah memeriksa perhitungan teman saya tadi, Ia berkata, “Jawaban kamu benar, ayo tuliskan jawaban kamu di papan tulis.” Setelah menguraikan delapan baris persamaan aljabar, teman saya menuliskan sebuah angka yang sama persis dengan angka yang saya berikan sebelumnya. Hal ini membuat saya sangat terkejut. Saya kembali mengacungkan tangan dan meminta ijin untuk mendekat ke meja guru saya. Sambil membawa kertas hasil corat-coret saya, saya menunjukkan pada guru saya bahwa jawaban saya sama persis dengan jawaban teman saya. Jadi mengapa saya disalahkan? Jawaban guru saya sangat sederhana, “Karena kamu tidak menjawab pertanyaan saya menggunakan rumus aljabar yang saya ajarkan.” Memang saya menjawab soal matematika dengan gambar warna-warni menggunakan crayon. Ini serius. Pada saat itu guru saya telah menggantikan “keabsahan logika” dengan “ketepatan penggunaan rumus” sebagai tujuan mata pelajarannya.

Struktur yang saya gunakan memiliki efek yang kurang lebih sama. Struktur itu mengembalikan mahasiswa saya pada dikotomi benar dan salah. Dikotomi ini sudah ditanamkan pada mereka sejak bangku sekolah dasar. Mereka disibukkan dengan “berusaha menemukan satu jawaban yang benar” daripada “berusaha memberikan banyak jawaban benar”. Tahun lalu, saya sangat terkejut saat putri saya yang masih kelas 3 SD disalahkan oleh gurunya saat Ia menjawab bahwa fungsi jam dinding adalah sebagai alat bantu untuk menghitung. Menurut gurunya, fungsi jam dinding adalah sebagai alat penunjuk waktu. Pertanyaannya mengapa jam dinding tidak dapat memilki beberapa fungsi sekaligus? Cara pembelajaran semacam ini mematikan daya imajinasi anak-anak. Mematikan kemampuan mereka untuk melihat alternatif-alternatif. Bahkan, mematikan kemampuan mereka untuk menghargai perbedaan. Shortly, It kills creativity.


Leave a Reply